top of page
  • Fierofea Books

Literasi Rendah: Bukan Hanya Karena Minat Baca

Penulis: Rahma Fadhila

Hai Fieries! Sekian lama gak berjumpa, bagaimana kabarnya? Siapa nih yang masih semangat untuk menuntas TBR yang terus menggunung?


Ngomong-ngomong soal membaca, saat ini rendahnya tingkat literasi di Indonesia masih menjadi topik yang hangat diperbincangkan oleh banyak pihak. Seperti yang sudah pernah Ofi bahas di blog sebelumnya dengan judul Literasi Lebih Dari Sekedar Membaca!, tingkat literasi Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 negara.



Hmm, kok bisa?

Bukan kah di zaman modern, harusnya lebih mudah untuk membaca buku? Terbukti dengan diluncurkannya aplikasi iPusnas oleh Perpustakaan Nasional dimana masyarakat bisa membaca buku secara gratis dan legal. Apakah minat baca masyarakat yang kelewat rendah atau ada penyebab-penyebab lain?


Rupanya, untuk mengatasi masalah seputar literasi di Indonesia gak cukup hanya dengan berfokus pada meningkatkan minat baca! Berikut beberapa hal yang juga perlu diperhatikan:


1. Tidak memahami apa yang dibaca

“The more that you read, the more things you will know. The more that you learn, the more places you’ll go.” —Dr. Seuss


Perlu diingat bahwa literasi adalah bagaimana cara kita membaca, menganalisis dan berkomunikasi. Seseorang yang memiliki kemampuan literasi yang baik adalah ketika ia membaca dengan aktif. Yaitu memiliki kemampuan untuk menganalisis, mengidentifikasi, bahkan bersimpati terhadap apa yang ia baca.


Misal, ketika kita membaca sebuah buku fiksi, kita mengira-ngira kenapa tokoh A mengucapkan dialog tersebut, kemudian mampu memilah mana yang dapat diaplikasikan di kehidupan sehari-hari dan bisa bersimpati tak hanya terhadap tokoh di dalam buku tersebut, tapi juga kepada penulis beserta latar belakangnya. Sama halnya dengan membaca buku non-fiksi.


Karena buku yang bagus sekalipun gak akan bermanfaat jika pembacanya gak bisa mencerna isinya dengan baik.


Belakangan, sedang heboh di media sosial bahwa ada seseorang yang mengutip isi buku "Cantik itu Luka" karya Eka Kurniawan.


“Semua perempuan itu pelacur, sebab seorang istri baik-baik pun menjual kemaluannya demi mas kawin dan uang belanja, atau cinta jika itu ada.”


Kalimat di atas diucapkan oleh salah satu tokoh perempuan bernama Dewi Ayu yang berprofesi sebagai pelacur di zaman penjajahan & zaman kemerdekaan. Sayangnya, gak sedikit orang yang mengkritik dan menerjemahkan kelimat tersebut seenaknya, tanpa tau apa yang ia bicarakan. Padahal, perlu diketahui terlebih dahulu: kenapa Dewi Ayu mengatakan hal tersebut? Apa latar belakangnya? Bagaimana lingkungannya? Apa saja yang sudah ia lewati semasa hidupnya?


Dalam kasus ini, literasi berperan penting. Yang artinya, seseorang harus membaca keseluruhan isi buku untuk memahami isinya sehingga tidak terjadi kesalahapahaman.



2. Akses yang belum merata

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbentang luas dari Sabang hingga Merauke, namun masih banyak daerah yang sulit mendapatkan akses untuk membaca buku.


Di kota besar seperti Jakarta, buku cenderung mudah didapatkan. Ada banyak toko buku (mulai dari perusahaan besar hingga mandiri; buku baru dan buku bekas) dan akses yang lebih mudah untuk pergi ke perpustakaan. Akses dan kecepatan internet juga tergolong sangat baik, sehingga para pembaca di sana dapat menggunakan e-book dengan nyaman.


Sedangkan masih banyak daerah-daerah yang belum seberuntung kota semacam Jakarta. Jangankan untuk membaca e-book, akses internet saja mungkin sulit. Menurut hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang terbaru, sekitar 73,7% orang Indonesia terhubung internet, namun masih didominasi oleh pulau Jawa sebesar 55,7% dan paling sedikit adalah 5,2% di Bali-Nusa Tenggara.


Ditambah lagi gak semua daerah memiliki toko buku (khususnya pulau luar Jawa yang perlu menanggung ongkos kirim mahal jika berbelanja online) dan perpustakaan yang memadai. Sehingga, bisa dibilang saat ini orang yang mudah mendapatkan akses untuk membaca buku memiliki privelege.


Kabar baiknya, sekarang ini banyak organisasi-organisasi yang sadar akan pentingnya literasi dan mau mengambil aksi untuk menyalurkan bantuan. Fieries yang ingin ikut serta membantu juga dapat menolong lewat memberikan donasi atau membuka usaha kecil dengan menjual buku yang sudah tak lagi dibaca. Namun, tentu saja peran pihak tertentu juga sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah ini.



3. Perlunya perbaikan gizi

Rupanya kualitas gizi seseorang dapat mempengaruhi tingkat literasi, loh! Menurut data UNICEF Saat ini, lebih dari dua juta anak menderita gizi buruk dan lebih dari tujuh juta anak di bawah usia 5 tahun mengalami stunting (kondisi tinggi badan anak lebih pendek dibanding tinggi badan anak seusianya).


Padahal, sampai tingkat tertentu, kekurangan gizi dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Terlebih lagi, kondisi stunting juga mempengaruhi ukuran otak, berujung pada jumlah sel yang berkurang dan terjadi ketidakmatangan otak.


Otak yang tidak bekerja secara sempurna akan mempengaruhi kecerdasan dan kemampuan berpikir. Tentunya masalah ini perlu diatasi, tak hanya untuk kebaikan masa kini tapi juga masa mendatang.


Kenapa? Karena kecerdasan akan mempengaruhi kemampuan literasi seseorang dalam bernalar dan menerima informasi. Dengan melakukan perbaikan gizi, kita dapat menghasilkan generasi yang sehat dan cerdas (tentunya juga dengan mendapatkan pendidikan yang layak). Terlebih lagi kecerdasan juga berkaitan dengan faktor genetik, yang artinya Indonesia dapat memiliki masyarakat yang berkualitas.


Dalam dunia literasi pun ada yang namanya literasi gizi (nutrition literacy) yaitu mengenai pemahaman sejauh mana individu memiliki kapasitas atau kemampuan untuk mendapatkan, memproses, dan memahami informasi terkait gizi.



4. Kualitas Pendidikan

Semua orang berhak mendapatkan pendidikan, tapi belum semuanya mendapatkan kualitas pendidikan yang baik. Menurut Fieries, apa sih salah satu hal terpenting dan sangat berpengaruh dalam bidang pendidikan?


Yap! Pastinya adalah kualitas guru. Bedasarkan The Muscat Agreetment, Global Education For All, target poin 6 adalah: By 2030, all governments ensure that all learners are taught by qualified, professionally-trained, motivated and well-supported teachers. Di tahun 2030, seluruh pelajar dididik oleh guru yang memenuhi kualifikasi, terlatih secara profesional dan mendapatkan dukungan.


Kualitas guru akan mempengaruhi metode belajar—yang kemudian menentukan apakah metode yang digunakan tersebut sudat tepat dan efektif sehingga siswa/i dapat menyerap ilmu dengan baik. Tak hanya itu, jika ingin mengajarkan literasi di sekolah tentunya harus memiliki pendidik yang berkemampuan literasi baik.


Untuk mendapatkan guru-guru yang mumpuni, tentunya mereka juga harus diberikan pendidikan yang layak sebelum terjun kerja lapangan dan hak-haknya haruslah terpenuhi.


Selain itu, perlu adanya pengembangan kurikulum dengan mewajibkan para pelajar untuk membaca dan menganalisis judul-judul tertentu, seperti karya sastra lama semacam Siti Nurbaya. Kurikulum ini tak hanya membantu dalam melestarikan karya sastra lama Indonesia, tapi juga dapat menguntungkan serta menghidupkan kembali perusahaan percetakan miliki negara—Balai Pustka.


Kurikulum yang mewajibkan muridnya untuk membaca sastra klasik sudah lazim dilakukan di luar ngeri. Seperti siswa SMU di Amerika yang wajib membaca 25 buku, Malaysia 6 buku, dan masih banyak lagi. Hal ini tentunya bisa dicontoh oleh Indonesia.



5. Kehadiran perpustakaan kurang dimanfaatkan secara maksimal

Fieries tau gak sih, ternyata Indonesia menempati peringkat kedua untuk perpustakaan terbanyak di dunia! Suhajar Diantoro, salah seorang Staf Ahli Bidang Pemerintahaan Kementrian Dalam Negri dalam acara Rakornas (Rapat Koordinasi Nasional) bidang perpustakaan 2021 menyebutkan, Indonesia memiliki 164 ribu perpustakaan.


Dengan jumlah perpustakaan sebanyak itu, kenapa ya literasi di Indonesia masih tergolong rendah? Mungkin kah penggunaan perpustakaan kurang maksimal?


Perpustakaan tentunya perlu memiliki fasilitas yang baik, kira-kira ini beberapa hal yang diperlukan agar masyarakat semakin tertarik untuk berkunjung!

  • Fasilitas yang nyaman untuk berlama-lama, seperti disediakannya ruangan untuk membaca dan belajar serta akses internet, dan aman agar buku-buku tetap terjaga dan berumur panjang (tidak cepat menguning/terhindar dari rayap)

  • Buku yang terus ditambah dan diupdate, sesuai dengan target pengunjung. Misalnya, jika perpustakaan tersebut ingin diperuntukkan untuk anak-anak, perbanyak buku bacaan yang sesuai umurnya. Jika untuk pelajar, berikan buku seperti ensiklopedia. Karena buku di perpustakaan dapat menjadi jendela bagi masyarakat sekitar untuk terus mengikuti zaman, sebab akan selalu ada hal baru untuk diketahui dan dipelajari.

  • Melakukan promosi lewat berbagai macam media untuk mendapatkan lebih banyak pengunjung.

  • Pengurus yang kompeten, sehingga perpustakaan tersebut dapat terus beroperasi dengan baik.

 

Meskipun masih banyak hal yang perlu diperbaiki, kita semua yang telah sadar akan pentingnya literasi harus terus berusaha untuk menyebarkan semangat membaca di lingkungan sekitar ya, Fieries!


Jangan lupa pantengin twitter Fierofea di @fierofeabooks dan IG @fierofea.books biar gak ketinggalan informasi lainnya ya!


Let's #SpreadSofea with Fierofea, Fieries!


bottom of page